desategal
Rabu, 29 Oktober 2014
Pura kusuma Dewi
Add caption |
Dari pertigaan yang berada pada ujung selatan Kota Bangli [yang ada bundaran itu], tepatnya di Desa Bebalang, anda ambil arah jalan ke arah timur.
Sekitar 50 meter darisana akan ada lagi pertigaan, disini anda ambil arah jalan
ke selatan dimana ada gapura atau candi bentar yang cukup besar. Terus
saja masuk ke selatan sekitar 100 meter, anda akan bertemu perempatan dimana
ada gedung balai banjar dari Banjar Tegal. Ini berarti anda sudah tiba di
Banjar Tegal yang merupakan lokasi pura.
Dari perempatan ini anda ambil arah jalan ke selatan, yaitu ke
Jalan Mas Medewi. Jalan ini cukup sempit dan melewati pemukiman penduduk Banjar
Tegal yang padat. Kalau anda naik mobil, agak hati-hatilah melewati jalan ini.
Sebab di jalan sempit ini mobil agak sulit untuk berpapasan, harus mencari
bagian jalan yang agak lebar pada titik-titik tertentu yang memungkinkan agar
mobil bisa berpapasan.
Jalan ini lurus saja sepanjang sekitar 200 meter sampai tiba di ujung pemukiman penduduk Banjar Tegal, nanti disana jalan akan berbelok ke kanan dan menurun. Jalan menjadi semakin sempit dan pemukiman penduduk tidak ada lagi. Kalau anda naik mobil ingatlah mengebel di tikungan ini dan hati-hatilah melewati jalan ini, sebab jalan sempit mobil tidak bisa berpapasan. Di sebelah kanan jalan merupakan tebing setinggi kira-kira 5 meter disertai rerimbunan pohon, di sebelah kiri jalan merupakan jurang sedalam kira-kira 5 meter.
Jalan sempit ini tidak sampai 100 meter jauhnya
dan anda akan tiba di tempat parkir dari Pura Kesuma Dewi. Tempat parkir ini
tidak terlalu besar, hanya bisa menampung maksimal 4 mobil, tapi ini bisa
menjadi tempat untuk mobil memutar disaat pulang nanti.
SEJARAH PURA
Pura Kesuma Dewi dibangun dalam 2 [dua] tahap
pembangunan dan termuat dalam 2 [dua] naskah klasik.
Tahap 1
Awal mula keberadaan Pura Kesuma Dewi adalah Pathirtan Pangsut, yang mengalirkan air suci Kesuma Dewi yang sangat sakral dan metaksu. Pangsut sendiri berarti di ujung jalan yang mentok atau buntu. Sebagaimana yang kita lihat bahwa bahkan sampai jaman sekarang inipun Pura Kesuma Dewi tetap berlokasi di ujung jalan yang mentok atau buntu.
Pathirtan Pangsut |
Mengenai sejarah keberadaan Pathirtan Pangsut ini termuat di dalam prasasti kuno yang dikeluarkan Raja Jayapangus [bertahta pada tahun 1178 s/d 1181 Masehi] yang membahas tentang keberadaan Pathirtan Pangsut di wilayah Tegal Alang-alang di selatan Kota Bangli, yang sekarang menjadi Banjar Tegal. Prasasti ini sampai sekarang masih tersimpan di Pura Kehen. Ini berarti sejarah keberadaan Pathirtan Pangsut dan air suci Kesuma Dewi sudah ada sejak sebelum abad ke-11 M.
Hanya ini sekelumit sejarah yang diketahui, bahwa Pathirtan Pangsut dan air suci Kesuma Dewi sudah ada pada abad ke-11 M. Sedangkan awal mula sejarah dibangunnya parahyangan ini pada jaman yang jauh lebih tua tidak diketahui.
Tahap 2
Sedangkan tahap perluasan dari Pura Kesuma Dewi termuat di dalam lontar Siddhimantra Tattwa, yaitu lontar yang memuat kisah sejarah tentang Danghyang Siddhimantra [seorang mahasiddha Shiwa-Buddha terkenal dari jaman kuno] berikut kisah sejarah mengenai keturunan beliau.
Diceritakan bahwa Danghyang Siddhimantra memiliki seorang putra bernama Danghyang Manik Angkeran. Kemudian dari Danghyang Manik Angkeran garis keturunan ini terus berlanjut dari generasi ke generasi.
Sampai pada keturunan beliau yang bernama I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi yang menjadi Anglurah Gelgel dan memiliki puri di Desa Tambahan. Beliau memiliki empat anak dan salah satunya adalah anak perempuan bernama I Gusti Ayu Jembung. Anaknya ini dipertemukan [dijodohkan] dan dinikahkan melalui upacara pawiwahan dengan I Gusti Ngurah Arsa Guwi.
Setelah beberapa waktu dari upacara pawiwahan
ini mendadak datang seorang utusan bernama Ida Pedanda Sakti Gde Mawang yang
dikirim oleh Ratu [penguasa] Taman Bali yang bernama I Dewa Taman Bali.
I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi bersikap
sangat hati-hati dengan datangnya utusan ini, mengingat penguasa Taman Bali
sudah memberontak melepaskan diri dari Kerajaan Bali yang berpusat di Gelgel.
Memanfaatkan keadaan pusat pemerintahan Kerajaan Bali di Gelgel yang sudah
hampir runtuh, serta sudah kehilangan kekuatan dan kekuasaannya.
I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi kemudian
keluar dari puri-nya untuk bertemu dengan sang utusan. Ketika sampai diluar
puri dilihatnya Ida Pedanda Sakti Gde Mawang sedang menunjukkan kesiddhian-nya
dengan memegang tetaken yang diatasnya berkobar nyala api sebesar kepalan
tangan bertingkat 1 [satu]. Melihat pameran kesiddhian ini I Gusti Anglurah
Tambaan Kancing Masuwi tetap menyambut sebagaimana mestinya dan menghaturkan
ucapan selamat datang. Sebagai keturunan langsung dari Danghyang Siddhimantra
beliau juga tentunya memiliki kesiddhian yang tidak sembarangan. Beliau
kemudian menghunus keris pusaka pajenengan beliau yang bernama Ki Baan
Kawu-Kawu dan langsung mengeluarkan api sebesar kepalan tangan bertingkat 21
[dua puluh satu].
Seketika itu juga Ida Pedanda Sakti Gde Mawang
merasa kesaktiannya kalah dari I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi. Beliau
lalu mengajak I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi untuk duduk berdialog.
Disampaikanlah maksud tujuan kedatangannya sebagai utusan dari I Dewa Taman
Bali [penguasa Taman Bali] untuk melamar I Gusti Ayu Jembung, yang hendak
diperistri oleh I Dewa Taman Bali.
Sadarlah I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi
bahwa tujuan sebenarnya dari pengiriman utusan ini adalah untuk memancing
peperangan. Sudah tentu I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi tidak dapat
memenuhi permintaan penguasa Taman Bali tersebut, sebab I Gusti Ayu Jembung
sudah dinikahkan dengan I Gusti Ngurah Arsa Guwi.
Peminangan ini hanyalah taktik dari I Dewa Taman Bali untuk melemahkan setiap kekuatan yang dirasanya menjadi saingan bagi kekuasaannya. Karena peminangan ini ditolak, maka penguasa Taman Bali memiliki alasan untuk melakukan penyerangan dengan alasan merasa terhina dengan penolakan tersebut.
Pada saat itu pasukan Taman Bali sedang berada
pada puncak kekuatannya. I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi sadar akan
diserang pasukan yang kuat dan jumlahnya lebih besar dari pasukannya sendiri.
Beliau memutuskan untuk menghindari pecahnya peperangan dengan cara menyingkir
dan bersembunyi. Beliau membawa seluruh harta dan benda pusaka penting miliknya
dan mengajak seluruh keluarganya melakukan perjalanan menuju utara.
Di wilayah Tegal Desa Bebalang mereka disambut oleh I Pasek Dawan Tegal. Situasi saat itu sangat genting karena pasukan Taman Bali sudah mengetahui pelarian ini dan berupaya melakukan pengejaran. I Pasek Dawan Tegal membantu I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi beserta keluarganya untuk bersembunyi di Pathirtan Pangsut di tepi sungai kecil yang bernama Sungai Geroh-geroh.
Saat itu I Gusti Ayu Jembung sudah dalam keadaan
hamil. Disertai oleh I Pasek Dawan Tegal, I Gusti Ayu Jembung beserta
suami dan keluarganya, menyampaikan sebuah permohonan dan janji kepada
para Ista Dewata mahasuci yang malinggih di Pathirtan Pangsut. Mohon agar
dilindungi dari kejaran pasukan Taman Bali, mohon keselamatan agar tetap bisa
hidup dan memperoleh keturunan [yang sedang dikandungnya]. Kalau permohonan ini
terkabul berjanji akan membangun sebuah parahyangan suci kahyangan jagat di
Pathirtan Pangsut yang akan dinamai Pura Kesuma Dewi.
Berkat perlindungan niskala
dari para Ista Dewata alam-alam suci mereka semua selamat dari
pengejaran dan pencarian pasukan Taman Bali. Ketika keadaan dirasa sudah agak
aman kemudian I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi beserta keluarganya,
termasuk I Gusti Ayu Jembung yang sedang hamil, melanjutkan perjalanan menuju
Den Bukit [sekarang disebut Buleleng] dan sampai di Bukit Tajun. Dari Bukit
Tajun mereka melanjutkan perjalanan menuju utara dan menetap disana. Tempat ini
kemudian diberi nama Desa Kubu Tambahan. Karena mereka berasal dari Desa
Tambahan dan kemudian membuat kubu [pondok atau rumah tempat tinggal].
Untuk memenuhi janji karena sudah mendapat
perlindungan niskala, kemudian dibangunlah parahyangan suci Pura Kesuma Dewi di
Pathirtan Pangsut. Ini berarti perluasan Pura Kesuma Dewi ini terjadi pada sekitar abad ke-17
M.
Dari beberapa naskah klasik ini bisa diambil
sebuah kesimpulan bahwa Pura Kesuma Dewi dibangun dalam 2 [dua] tahap
pembangunan. Pura Kesuma Dewi sudah ada sejak sebelum abad ke-11 M dan mengalami perluasan pada sekitar abad ke-17
M.
DRESTA PURA
Di Pura Kesuma Dewi terdapat beberapa dresta yang tentunya wajib untuk kita
ikuti dan tidak kita langgar. Dresta-dresta tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kalau mandi
atau melukat tidak boleh mengenakan busana sehelai benangpun. Mandi atau
melukat wajib telanjang bulat.
Menurut cerita masyarakat, kalau dresta ini dilanggar maka akan mengakibatkan mata air suci Kesuma Dewi di Pura Kesuma Dewi ini berhenti mengalirkan air. Sebagaimana sudah terbukti berkali-kali pada kejadian-kejadian yang masih diingat sejak 100 tahun yang lalu. Kalau ada yang mandi atau melukat masih mengenakan busana, walaupun hanya ditutupi selembar kain perca kecil saja, maka air suci di Pura Kesuma Dewi ini akan berhenti mengalir. Harus diadakan upacara khusus agar air suci ini dapat mengalir kembali.
Sehingga masyarakat setempat sangat ketat akan aturan ini. Bagi yang melanggar dresta ini akan langsung dikenakan sanksi. Juga pengempon pura memasang papan pengumuman mengenai dresta dan sanksi yang akan dibebankan bagi pelanggar.
Dresta niskala ini merupakan sebuah
ujian spiritual, sebuah proses seleksi alam bagi siapa saja yang datang
tangkil, sekaligus menjadi pagar niskala penjaga kesakralan parahyangan
suci. Siapapun yang hendak mandi
atau melukat di parahyangan suci yang sakral ini harus sanggup menempuh ujian
spiritual ini, yaitu mandi atau melukat dengan
bertelanjang bulat.
Ini tidak saja merupakan sebuah ujian spiritual, tapi sesungguhnya merupakan sebuah pelajaran spiritual
tingkat tinggi. Karena untuk dapat melukat di parahyangan suci
ini, kita harus dengan keikhlasan total, dengan kepolosan
pikiran dan terbebas dari ke-aku-an [ego, ahamkara]. Mengalami keadaan sunia melampaui pikiran, “tanpa diri” atau “tanpa ego”. Hanya mereka yang bersedia menggembleng diri melatih kondisi kesadaran seperti
ini yang diijinkan untuk melukat di parahyangan suci sakral ini, untuk
memperoleh karunia para Ista Dewata. Kalau
tidak bersedia, sebabnya karena bathin masih melekat sangat kuat dengan
keterkondisian palsu, maka dari itu tidak akan diijinkan.
Tentunya dresta pura ini wajib untuk kita ikuti dan tidak kita langgar. Karena tanpa mengikuti dresta ini tentunya yang didapat bukannya karunia Ista Dewata, tapi malahan berdampak kepada sebuah kemunduran secara sekala - niskala.
Tentunya dresta pura ini wajib untuk kita ikuti dan tidak kita langgar. Karena tanpa mengikuti dresta ini tentunya yang didapat bukannya karunia Ista Dewata, tapi malahan berdampak kepada sebuah kemunduran secara sekala - niskala.
2. Kalau mandi atau melukat tidak boleh meletakkan pakaian di areal pathirtan.
Artinya kita harus membuka dan meletakkan pakaian di seberang jembatan diatas sungai, kemudian berjalan sekitar 2,5 meter menuju areal pathirtan. Atau boleh juga membuka dan meletakkan pakaian di tengah jembatan tersebut.
Jembatan di atas sungai menuju areal pathirtan |
3. Pantang untuk mengkomersialkan atau menjual air suci dari Pura Kesuma Dewi ini.
Masyarakat dipersilahkan untuk nunas tirtha disini untuk konsumsi sendiri sebanyak yang diperlukan. Tapi pantang untuk mengkomersialkan atau menjualnya. Menurut cerita masyarakat kalau dresta ini dilanggar maka akan mengakibatkan kecelakaan yang berujung pada kematian bagi yang melanggarnya. Ini sudah berkali-kali terjadi, termasuk kejadian-kejadian beberapa tahun yang lalu.
Bila kita tangkil ke sebuah pura tentunya semua dresta pura tersebut wajib untuk kita ikuti dan tidak kita langgar. Di setiap parahyangan suci pastinya tidak lepas dari taksu dan kekuatan suci. Bila kita tidak mampu dengan rendah hati menghormati dan mengikuti dresta, taksu dan kekuatan suci sebuah pura, tentu lebih baik kita tidak datang saja kesana. Tanpa mengikuti sasana ini tentu pencapaian apapun dalam proses perjalanan spiritual tidak akan diperoleh. Yang terjadi malah sebuah kemunduran.
Sehebat apapun tingkat spiritual kita, kalau datang ke sebuah pura jangan seperti "maling" yang mengobrak-abrik dresta sebuah pura, dengan membawa sikap angkuh dan mementingkan diri sendiri. Sudah tentu itu adalah sebuah sikap yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma sejati. Kita tidak akan memperoleh karunia spiritual apapun, malah dengan pelanggaran tersebut kita akan mendapat karma buruk. Kalau kita tidak sanggup untuk mengikuti dan menghormati dresta sebuah pura, tentu lebih baik kita tidak datang saja kesana.
Selain itu tentunya juga berlaku tata-aturan ke
pura yang umum berlaku dimana-mana, yaitu datang dan memasuki areal pura wajib
memakai pakaian adat Bali / pakaian sembahyang Hindu. Serta dilarang masuk ke
pura dalam keadaan cuntaka, seperti sedang ada keluarga dekat yang meninggal
dunia dan wanita yang sedang haid [datang bulan].
MANDALA PURA
Keseluruhan Pura Kesuma Dewi terbagi menjadi tiga areal. Yaitu areal utama Pura Kesuma Dewi, areal Pathirtan Kesuma Dewi [Pathirtan Pangsut] dan areal Palinggih Taru.
Dari tempat parkir Pura Kesuma Dewi, di depan kita langsung adalah jembatan yang menuju areal utama Pura Kesuma Dewi.
Di sebelah kiri jembatan ini, di bawah pada sungai, terdapat sebuah batu besar berwarna kuning keemasan yang unik. Menurut kesaksian langsung Jro Mangku dan masyarakat sekitar pura, sekitar 50 tahun yang lalu batu ini hanyalah sebesar keben saja. Entah apa sebabnya batu itu terus bertumbuh membesar sampai sekarang ukurannya hampir sebesar 2/3 mobil karimun. Selain itu ada kejadian seorang praktisi spiritual dari Jogja yang sedang menjelajah Pulau Bali mengalami kejadian unik dengan batu ini. Yaitu dia melihat di kejauhan ada segaris sinar terang mencuat ke angkasa. Setelah dicari-cari asal dari sinar terang tersebut, ternyata berasal dari batu ini.
Batu berwarna kuning keemasan yang terus membesar |
Memasuki candi bentar pura kita akan memasuki madya mandala pura. Disini terdapat Palinggih Sanghyang Baruna [Ista Dewata penguasa samudera] dan sepasang Palinggih Apit Lawang. Selain itu juga terdapat beberapa bangunan sebagai penunjang kegiatan disaat diadakannya piodalan pura atau upacara besar lainnya.
Candi bentar menuju utama mandala dan sepasang Palinggih Apit Lawang |
Melewati candi bentar berikutnya merupakan gerbang masuk menuju utama mandala pura. Disini merupakan tempat pemujaan utama dari Pura Kesuma Dewi.
Palinggih mulai dari paling barat adalah Palinggih Anglurah Agung sebagai stana Sanghyang Buddha. Di palinggih ini distanakan arca pratima Buddha Vairocana [salah satu dari lima Panca Dhyani Buddha], yang merupakan ciri khas Buddha Kasogatan yang berkembang di nusantara pada jaman kuno dahulu. Pada awalnya pratima kuno yang ada disini berupa jempana berbentuk teratai. Melalui paruman para panglingsir dan pengurus pura pada tahun 2007, kemudian diputuskan untuk mengganti pratima jempana berbentuk teratai dengan arca pratima Sanghyang Buddha. Pratima kuno berupa jempana berbentuk teratai itu kemudian disimpan di palinggih gedong. Adanya palinggih Sanghyang Buddha ini kemungkinan memiliki kaitan dengan sadhana spiritual dari Danghyang Siddhimantra yang melaksanakan ajaran Shiwa-Buddha.
Palinggih Sanghyang Buddha |
Di sebelah timur Palinggih Anglurah Agung sebagai stana Sanghyang Buddha adalah Palinggih Pesamuhan Agung. Yaitu tempat pemujaan bagi seluruh Ista Dewata di Pura Kesuma Dewi. Ketika diselenggarakan piodalan maka seluruh arca pratima akan distanakan berkumpul disini.
Di sebelah timurnya lagi adalah Palinggih
Sanghyang Wishnu, berupa sebuah palinggih gedong yang tertutup rapat. Di dalam
palinggih gedong ini terdapat arca pratima Sanghyang Wishnu yang
terbuat dari uang kepeng. Arca pratima ini memiliki kisah sejarah yang tidak biasa. Yaitu ketika jaman dahulu [tidak diingat lagi tahunnya] di palinggih ini belum ada arca pratima. Lalu oleh masyarakat dikumpulkan
orang-orang wikan untuk diminta petunjuknya. Kemudian disarankan oleh mereka untuk memohon di palinggih taru.
Kemudian terjadilah keajaiban dimana diatas canang yang dihaturkan di Palinggih
Taru tersebut, yang tadinya
kosong mendadak diatasnya berisi banyak
sekali uang kepeng. Kemudian uang kepeng inilah yang dijadikan
sebagai arca pratima Sanghyang Wishnu.
Di sebelah timur dari jejeran palinggih tadi
terdapat palinggih pesimpangan ke Gunung Agung dan palinggih pesimpangan ke
Gunung Lebah [Gunung Batur]. Yang dalam kosmologi Bali adalah simbolik Purusa
dan Predana [Prakriti], yaitu keseluruhan realitas alam semesta. Serta
disebelahnya lagi adalah Palinggih Padmasana sebagai stana Sanghyang Acintya
beserta seluruh manifestasi-Nya.
Palinggih Gunung Agung, Gunung Lebah dan Padmasana |
Di sebelah timur pura terdapat satu palinggih gedong untuk pemujaan kepada Danghyang Manik Angkeran. Di parahyangan ini tidak ada palinggih pemujaan kepada Danghyang Siddhimantra, karena beliau telah kembali ke Pulau Jawa dan tidak menetap di Bali.
Di sebelahnya adalah Palinggih Sanghyang Prajapati. Adanya
palinggih Sanghyang Prajapati ini merupakan manifestasi naungan dan
perlindungan dari Ista Dewata kepada manusia dari marabahaya dan keberlanjutan
kehidupan. Ini terkait dengan kejadian I Gusti Ayu Jembung yang mohon
perlindungan dari bahaya dan mohon agar dapat memperoleh keturunan [yang
sedang dikandungnya]. Karena beliau Sanghyang Prajapati adalah Ista Dewata
pemberi kehidupan dan pelindung kehidupan semua mahluk.
Di sebelah selatan pura terdapat Palinggih Sanghyang Ibu Pertiwi atau Ibu Bumi.
Palinggih Sanghyang Prajapati |
Di sebelah selatan pura terdapat Palinggih Sanghyang Ibu Pertiwi atau Ibu Bumi.
Palinggih Sanghyang Ibu Pertiwi |
Untuk menuju areal kedua, yaitu Pathirtan Kesuma Dewi [Pathirtan Pangsut], kita harus keluar dulu dari areal utama Pura Kesuma Dewi. Berjalan sekitar 50 meter melewati jalan di pinggir jurang Pangsut.
Sebelum sampai di Pathirtan Pangsut kita akan melewati sebuah Palinggih
untuk
bendungan subak kuno. Bendungan kuno ini terdapat di bagian bawah, pada
Sungai Geroh-geroh yang bermuara ke Tukad [Sungai] Melangit.
Palinggih ini tidak ada kaitannya dengan Pura Kesuma Dewi dan disungsung
oleh krama
subak dari daerah lain, yang leluhurnya membuat bendungan ini.
Areal pathirtan Kesuma Dewi ini terbagi menjadi dua mandala, yaitu jaba tengah dan jaba sisi.
Palinggih bendungan subak di selatan Pathirtan Pangsut |
Areal pathirtan Kesuma Dewi ini terbagi menjadi dua mandala, yaitu jaba tengah dan jaba sisi.
Di jaba tengah Pathirtan Kesuma Dewi [Pathirtan Pangsut] terdapat kelebutan atau sumber mata air suci Kesuma Dewi yang sangat
disakralkan. Pada sumber mata air suci ini dilinggihkan arca seorang pandita.
Kemudian air suci ini mengalir melewati tiga pancoran suci. Tiga pancoran suci
ini hanya boleh untuk nunas tirtha saja.
Aliran air suci Kesuma Dewi dari tiga pancoran suci ini kemudian dialirkan menuju jaba
sisi dari areal pathirtan yang juga mengalir keluar melewati tiga pancoran.
Disinilah tempat untuk melukat, mandi atau nunas tirtha.
Untuk menuju areal ketiga, yaitu areal Palinggih Taru kita akan melewati jembatan yang ada di sisi timur areal pathirtan Kesuma Dewi. Lalu naik ke atas bukit kecil.
Pancoran tiga genah melukat, mandi atau nunas thirta. |
Untuk menuju areal ketiga, yaitu areal Palinggih Taru kita akan melewati jembatan yang ada di sisi timur areal pathirtan Kesuma Dewi. Lalu naik ke atas bukit kecil.
Taru [pohon] yang ada disini ada dua yaitu Pohon Taap [yang besar] dan Pohon Pule [yang kecil]. Taru ini sangat disakralkan oleh masyarakat dan pernah digunakan sebagai bahan pembuatan tapel sesuhunan Pura Dalem Lagaan.
Demikianlah keberadaan seluruh wilayah
parahyangan suci Pura Kesuma Dewi.
SAKRALNYA KEKUATAN SUCI TIRTHA KESUMA DEWI
Pura Kesuma Dewi adalah pura kahyangan
jagat dengan nuansa spiritual Bali kuno.
Menurut Jro Mangku pura, kalau pemedek hendak melukat di Pura Kesuma Dewi dan pertama kali tangkil, hendaknya membawa pejati dan juga mendak Jro Mangku. Nanti Jro Mangku yang akan mengadakan persembahyangan matur piuning dulu kepada Ista Dewata yang berstana di Pura Kesuma Dewi. Setelah itu barulah pemedek melukat di Pathirtan Kesuma Dewi.
Penangkilan-penangkilan selanjutnya dipersilahkan langsung saja melukat dengan menghaturkan canang di pathirtan. Kita boleh mendak pemangku dan boleh juga tidak. Kalau kita mendak pemangku nanti kita bisa sembahyang di areal utama mandala pura. Kalau kita tidak mendak pemangku, kita tidak akan dapat masuk ke areal utama mandala pura karena gerbang-nya selalu digembok. Kita boleh langsung saja melukat di pathirtan dengan menghaturkan canang. Ketika melukat janganlah sama sekali melanggar dresta-dresta yang ada di pura ini.
Bisa dikatakan bahwa Pura Kesuma Dewi adalah salah satu tempat melukat yang sangat baik, sebab air suci Kesuma Dewi adalah thirta yang sangat sakral dan metaksu, dengan kekuatan sucinya dalam air sangat kuat, sehingga menjadi salah satu tempat melukat yang sangat baik.
Secara niskala air suci yang mengalir dari masing-masing pancoran pada pancoran tiga di jaba sisi ini terlihat memiliki warna yang berbeda-beda dan terasa energi-nya juga berbeda-beda. Ini berarti masing-masing pancoran memiliki karunia-nya masing-masing. Dan ini tidak hanya secara niskala saja, tapi terbukti juga secara sekala. Yaitu ketika Pemda Bangli melakukan penelitian mengenai kualitas air suci Pura Kesuma Dewi. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa tirtha suci dari masing-masing pancoran pada pancoran tiga di jaba sisi ini ternyata memiliki berat dan kandungan mineral yang berbeda-beda. Ini secara ilmiah tentu saja cukup membingungkan, karena sumber mata airnya sama hanya satu saja.
Salah satu dresta di Pura Kesuma Dewi bahwa mandi atau melukat di pancoran disana tidak boleh memakai busana sehelai benangpun atau wajib telanjang bulat dan laki-laki perempuan disini mandi campur. Selain itu kalau mandi atau melukat tidak diperbolehkan meletakkan pakaian di areal pathirtan, sehingga kita harus membuka dan meletakkan pakaian di seberang jembatan, kemudian berjalan dengan tanpa busana sekitar 2,5 meter menuju areal pathirtan. Atau boleh juga membuka dan meletakkan pakaian di tengah jembatan tersebut.
Masyarakat disini biasa-biasa saja, sama sekali tidak ada yang berpikiran
kotor. Sepanjang sejarah tidak pernah ada kejadian pelecehan seksual atau
pemerkosaan. Sebagaimana pengalaman saya ketika melukat disini, walaupun laki-laki perempuan
disini mandi campur tanpa busana, tidak ada pikiran buruk yang muncul di
dalam diri.
Pada hari-hari biasa, Pura Kesuma Dewi sering dijadikan tempat pemandian, mencari air minum dan genah melukat bagi masyarakat sekitarnya.
Menurut Jro Mangku pura, selain masyarakat sekitar, banyak praktisi spiritual yang datang tangkil ke Pura Kesuma Dewi karena mendapatkan petunjuk niskala. Ada yang mendapatkan pawisik, ada yang mendapatkan berbagai cihna [pertanda] dan ada juga ketika sedang tidur mendapatkan pesan simbolik di dalam mimpi untuk tangkil ke parahyangan suci ini.
Ini termasuk juga para sulinggih dan pejabat yang banyak tangkil ke
Pura Kesuma Dewi. Misalnya seorang sulinggih yang lama mengalami sakit
tidak kunjung sembuh, kemudian di dalam mimpi mendapatkan petunjuk dari
leluhurnya untuk melukat disini. Setelah 3 [tiga] kali tangkil dan melukat
sulinggih itu sembuh dan kembali segar-bugar. Juga seorang pejabat penting di
Bali yang mendapat petunjuk melukat ke Pura Kesuma Dewi. Menurut Jro Mangku
pura, para sulinggih, pejabat, beserta para istrinya juga disini tetap harus
ikut dresta melukat telanjang bulat.
Karena secara niskala air suci Kesuma Dewi yang keluar dari ke-3 pancoran
di jaba sisi sudah terberkati berupa tirtha suci mautama. Itu sebabnya mandi
atau melukat tidak boleh memakai busana, karena air yang keluar dari pancoran
sudah dengan sendirinya berupa tirtha suci. Kita tidak boleh menistai kesucian
tirtha suci tersebut dengan pakaian atau busana yang kita pakai. Dan di
Pura Kesuma Dewi thirta suci ini sangatlah sakral dan metaksu.
Dalam pandangan niskala saya, tanpa busana ini juga merupakan sebuah segel, sebuah penanda [kode] atau simbol-simbol suci dengan tubuh kita. Segel, kode atau simbol-simbol suci ketulusan penyerahan diri kita akan perjalanan garis nasib kita [dalam segala hal termasuk kemajuan spiritual] kepada beliau dengan penuh rasa bhakti dan kerelaan. Sebagaimana halnya ketika I Gusti Ayu Jembung dan keluarganya menyerahkan garis nasibnya kepada para Ista Dewata ketika sedang dalam ancaman marabahaya. Serta segel, kode atau simbol-simbol suci akan kesadaran mengenai kepapaan dan kesementaraan kehidupan ini, kita lahir telanjang dan mati juga telanjang. Kita berharap kepada kemaha-welasihan para Ista Dewata turun membantu kita. Kita menggunakan tubuh kita untuk menampilkan segel, kode atau simbol-simbol kosmis alam semesta.
Saran saya anda sebaiknya melukatlah berlama-lama disini, biarkan air suci yang mengalir dari pancoran lama mengguyur dan mencocor seluruh tubuh kita, karena itu yang membuat karunia penglukatan disini semakin kuat.
Menurut Jro Mangku pura, selain sebagai parahyangan suci tempat menyucikan diri yang mautama, Pura Kesuma Dewi juga sebagai tempat melukat nunas kesembuhan dari penyakit, terutama penyakit kencing batu dan kencing manis.
Masih menurut Jro Mangku pura, selain adanya berbagai karunia spiritual di Pura Kesuma Dewi, juga ada karunia yang paling banyak diminati masyarakat awam, yaitu karunia untuk mendapatkan anak bagi pasangan yang sulit mendapatkan keturunan. Bagi pasangan yang ingin mendapatkan keturunan, pasangan suami-istri keduanya tangkil dan melukat di Pura Kesuma Dewi paling banyak selama 6 [enam] bulan setiap rahina purnama dan setiap rahina tilem berturut-turut tanpa putus. Ada pasangan yang baru 5 [lima] kali berturut-turut sudah bisa hamil, ada pasangan yang baru 3 [tiga] kali saja sudah bisa hamil dan bahkan ada pasangan dari Gianyar yang baru sekali saja sudah bisa hamil. Dan walaupun kebanyakan pasangan memerlukan jangka waktu lebih panjang, yang penting kalau sudah tangkil dan melukat di Pura Kesuma Dewi selama 6 [enam] bulan setiap rahina purnama dan rahina tilem terus berturut-turut tanpa putus. pasti bisa hamil. Ini sudah sangat banyak terbukti. Intinya hanya tekun dan sabar memohon karunia beliau dan melakukan pembersihan diri di parahyangan suci ini.
Caranya adalah pertama kali tangkil dan melukat pasangan suami-istri datang kesana harus membawa pejati dan mendak Jro Mangku pura. Kemudian Jro Mangku yang akan menghantarkan permohonan ini kepada Ista Dewata yang berstana disana. Setelah itu pasangan kemudian melukat mohon pembersihan dan karunia beliau melalui tirtha suci Kesuma Dewi. Penangkilan yang berikut-berikutnya tidak usah lagi mendak Jro Mangku, melainkan langsung saja melukat di pathirtan Kesuma Dewi dengan cukup menghaturkan canang. Karena tujuan penangkilan sudah disampaikan secara niskala oleh Jro Mangku kepada para Ista Dewata di kedatangan yang pertama tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)