Rabu, 29 Oktober 2014

manik angkeran

Diceritakan sekarang Kyai Anglurah Made Sakti, tidak mengikuti kakaknya, berpindah tempat dari desa Tulikup menuju Jenggalabija diiringi oleh rakyat lengkap dengan bawaannya. Jenggala Bija itu dekat dengan tempat kediaman I Dewa Karang yang dipakai menantu di wilayah Mambal.
Kyai Anglurah Made Sakti sudah memiliki Puri di Jenggalabija, sampai kepada rakyatnya sudah memiliki perumahan sesuai dengan keadaan pedesaan yang sudah ada.
Kyai Ngurah Made Sakti benar - benar bijak memegang kekuasaan, beliau ahli dalam sastra, serta senang melaksanakan dewaseraya berbhakti kepada Ida Hyang Widhi dan Bhatara semua. Ppada saat itu ada anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi pada hari Selasa Kliwon - Anggara Kasih, bulan Bali yang kesembilan - Kesanga di tengah malam, Kyai Ngurah Made melakukan upaacara persembahyangan di hutan ladang Bun, di sebelah timur Desa Pengumpian. Sesudah sampai di tepi hutan itu, dilihat ada asap tegak berdiri putih seakan - akan sampai di angkasa. Tempat itu kemudian dicari oleh Kyai Ngurah Made, sesampai di tempat itu, layaknya sebagai bun - pohon merambat dilihat oleh beliau asap yang berdiri tegak itu, seperti aneh rasanya dan juga menakutkan. Ketika hilang asap itu, kembali perasaan beliau Ida Kyai Anglurah Made Sakti seperti sediakala, kemudian menaiki timbunan bun itu. Sesudah sampai di puncak, kira - kira ada 80 depa, kemudian ada sabda terdengar dari angkasa :
“Nah, dengarkanlah sabdaku ini! Segera bersihkan hutan bun ini, kemudian pakai desa maupun perumahan. Sejak sekarang Kyai Ngelurah Pinatih Made menjadi Kyai Ngelurah Pinatih Bun, sampai keturunanmu kelak di kemudian hari menjadi warga Bun.
Setelah selesai mendengar sabda dari angkasa itu, kemudian Ida Kyai Ngurah Made turun. Setelah sampai di tanah kemudian beliau berkeinginan untuk membari tanda tempat itu denga kapur - diberikan tanda silang - tapak dara, sebagai tanda, kemudian beliau pulang ke Puri.
Pada pagi harinya sampailah kemudian di Puri beliau di tegal Bija, kemudian memberitahukan kepada perbekel serta rakyat semuanya. Setelah semua rakyat berdatangan menghadap, kemudian I Gusti Ngurah Made berkata :
“Nah Paman semuanya, saya sekarang memerintahkan paman semuanya untuk merabas hutan bun itu, saya akan membangun desa serta perumahan”.
Rakyat semuanya menyambut dengan perasaan senang hati, menuruti keinginan I Gusti Ngurah Made, semuanya lengkap membawa alat akan merabas Alas Bun itu.
Setelah semua bersih hutan itu dirabas, ketika matahari sudah berada di atas kepala, rakyat semua beristirahat dan mengambil makanan untuk rakyat Bija itu di Pasar Pangumpian, kemudian tiba di Bancingah Pangumpian seraya membuang sampah. Disana dibuang sampah itu oleh rakyat Bija. Setiap hari demikian tingkah rakyat Bija di Pasar Pangumpian. Kemudian ada orang melaporkan permasalahan itu kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, prihal tingkah rakyat pendatang itu merabas hutan. Karena itu merasa marah besar I Gusti Ngurah Pangumpian karena tidak ada pemberitahuan kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, sebab itu dilarang rakyat pendatang itu merabas hutan Bun itu, karena tidak patut perbuatan rakyat Bija itu, apalagi membuang sampah sembarangan di Bancingah Pangumpian, kemudian dihentikan dengan senjata.
Sesudah itu kemudian I Gusti Ngurah Pangumpian mengumpat mereka sampai kepada Gusti mereka, karena itu segera didengar olah rakyat Bija, sehingga kacau di Pasar Pangumpian apalagi diimbuhi dengan tantangan terhadap Gustinya.
Itu sebabnya menjadi marah I Gusti Ngurah Made kemudian memerintahkan putranya untuk melaksanakan perbuatan sebagai seorang Ksatria.
Saat itu I Gusti Putu Bija sebagai putranya mengikuti ayahnya bersama rakyat semuanya, membawa senjata bersorak sorai semua. Dipimpin oleh sang ayah, kemudian masuk ke Puri Pangumpian. Sangat ramailah perang disana, saling tusuk, saling penggal, itu sebabnya banyak yang mati, sungguh riuh sekali perang antara Bija lawan Pangumpian. Banyak yang mati dan banyak yang luka. Saat itulah kemudian bertemu berperang tanding I Gusti Ngurah Made lawan I Gusti Ngurah Pangumpian, kemudian kalah I Gusti Ngurah Pangumpian dan kemudian meninggal. Sejak itu orang - orang di Pangumpian kalah kemudian ada yang pergi berpencar mencari tempat, ada yang mengungsi ke pegunungan. Ada yang ke arah selatan ke Desa Kesiman, ada di Suwung, di Wimba serta Blumbungan, Kapal. Demikian kesaktian Kyai Anglurah Made, itulah sebabnya kemudian beliau diberi gelar I Gusti Anglurah Sakti Bija. Hentikan dahulu ceritera di Bun Pangumpian.
Diceritakan sekarang yang memegang kekuasaan di wilayah Mengwi yang bernama I Gusti Made Agung Alangkajeng serta bergelar Cokorda Agung Made Bana, beserta adiknya I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng serta I Dewa Karang di Mambal, menanyakan prihal peperangan itu. Kyai Anglurah Bun kemudian mengatakan prihal mendapatkan anugerah dari Hyang Maha Kuasa.
Berkata Cokorda :
“Nah kalau begitu, Dinda Ngurah Bun yang memang benar. Serta Ngurah beserta rakyat patut beralih tempat dari Jenggala Bija berkumpul di Desa Bun. Agar sesuai dengan nama wilayah”.
Diceritakan sekarang yang menjadi pendeta bernama Ida Peranda Wayan Abian mempunyai putra bernama Ida Wayan Abian. Adiknya bernama Ida Ktut Abian, dipakai ipar serta menantu oleh Kyai Ngurah Bun. Itu sebabnya beliau berdiam di wilayah Bun, serta juga berganti nama menjadi warga Bun. Beliau kemudian dijadikan Cudamani oleh Ki Arya Bun serta juga Ki Arya Bija, demikian kesimpulan pertemuan di Geria Sanur. Kemudian juga I Gusti Ngurah Made Bija dapat berdiam di Desa Beranjingan, mendapatkan rakyat 300 orang disampingi oleh menantunya yang bernama Ida Ktut Ngurah.
Diceritakan I Gusti Putu Bija di Beranjingan diiringi oleh para putranya semua membuat senjata 40. Senjata itu kemudian diberi nama Dolo dan Beranjingan, semua senjata itu bertatahkan mas, kemudian dipergunakan sebagai alat upacara di pura - pura serta dipakai peringatan di kelak kemudian hari.
Ada juga terlahir dari warga Beranjingan, bernama I Gusti Ngurah Gde Bija, adiknya bernama I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan, I Gusti Ngurah Anom Lengar, serta terakhir bernama I Gusti Ketut Bija Tangkeng itu semua lahir dari Puri Beranjingan, diamping ada yang wanita.
Dikisahkan I Gusti Putu Bija yang bertempat tinggal di Beranjingan, disusupi oleh loba - tamak, moha hatinya, itu sebabnya berani kepada ayahandanya Kyai Ngurah Made Bija Bun, sehingga tidak ingat lagi bersaudara maupun berayah. Itu sebabnya bertentangan Beranjingan dengan warga Bun. Muncul kesal hati Ida Kyai Ngurah Bun untuk berbicara dengan putranya yang ada Puri Beranjingan, karena anaknya itu merasa diri pintar, tidak lagi peduli pada kelebihan orang lain.
Karena itu, menjadi marah Kyai Ngurah Made Bun, kemudian melakukan perbincangan dengan putranya yang lain seperti I Gusti Ngurah Made Bija Bun, I Gusti Anom Bija, I Gusti Ngurah Teja, I Gusti Ngurah Alit Padang, agar merebut saudaranya yang ada di Beranjingan.
Itu sebabnya menjadi galak rakyat Bun, kemudian didatangi Desa Beranjingan itu oleh pasukan Bun serta dikejar, diburu, karenanya menjadi kacau di daerah Beranjingan, semua keluar membawa alat senjata, semuanya berani menunjukkan keperwiraannya. Disanalah kemudian terjadi perang yang dahsyat, saling tusuk, saling bunuh, dan banyak mati rakyat Beranjingan oleh rakyat Bun. Menyaksikan demikian halnya, sangat marah I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan, akan bersedia mati dalam pertempuran bersama para putra serta isteri semuanya bermaksud untuk menghilangkan jiwanya, dan semuanya mengenakan busana serba putih, sedia akan mati di medan laga.
Karena sudah demikian tekad I Gusti Ngurah Beranjingan, menjadi gentar juga rakyat Bun, serta para putra semuanya, kemudian segera ayahandanya mempergunakan Aji Pregolan, berdiri di depan pinti Puri. Karena kesaktian Kyai Ngurah Made Bun, menjadilah I Gusti Ngurah Beranjingan gentar melihat prabawa ayahnya, takut, tidak berani lagi menentang, sampai dengan rakyat Beranjingan semua, lalu semuanya lari tunggang langgang besar kecil mengungsi serentak menyembunyikan diri menuju desa Srijati di Sibang, kemudian berdiam di Desa Darmasaba, serta menghamba kepada I Gusti Agung Kamasan beserta seluruh rakyatnya, penuh sesak disana di Darmasaba. Dengan demikian I Gusti Ngurah Putu Bija? Beranjingan batal meninggal di medan perang tempat itu kemudian dinamai Jagapati.
Sesudah lama berdiam disana, kemudian semua para putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan berpencar. Putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan masing - masing adalah I Gusti Ngurah Beranjingan membangun Puri di Banjar Bantas, adiknya I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan mengungsi ke Desa Tingas disertai rakyat 60 KK. I Gusti Ngurah Ketut Bija Tangkeng serta I Gusti Ngurah Anom Lengar, mencari tempat di Moncos diiringi rakyat 60 KK, I Gusti Ketut Rangkeng mencari tempat di Desa Kekeran. Belakangan I Gusti Anom Lengar mengambil isteri dari Dalung, itu sebabnya bolak - balik tempat tinggalnya, kemudian ada putra 3 orang, yang sulung bernama I Gusti Putu Bija, adiknya I Gusti Bija Lekong, yang paling kecil I Gusti Bija Leking, I Gusti Anom Lengar berdiam kemudian di Dalung, akhirnya kemudian di Taman Padangkasa, bersama anaknya I Gusti Leking.
Dikisahkan I Gusti Bija Lekong mengungsi ke wilayah Kuta. Sesudah lama di Kuta banyak sekali puteranya, ada yang mengungsi ke Jembrana I Gusti Putu menuju wilayah Kaba - Kaba kemudian ke Lodsawah.
Kembali diceritakan Kyai Ngurah Made Bija Bun sudah lega hatinya memperoleh kewibawaan di Desa Bun, tidak ada yang membantah perintah beliau, karena sudah juga bermitra dengan Cokorda yang menguasai wilayah Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana. Lama kemudian meninggal penguasa Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana, digantikan oleh adiknya I Gusti Nyoman Langkajeng yang bergelar Cokorda Munggu. Cokorda Munggu mempunyai putra I Gusti Agung Mayun serta I Gusti Agung Made Munggu. I Gusti Agung Mayun menggantikan ayahnya bergelar Cokorda Mayun.
Demikian dahulu keadaan di Mengwi.

Puri Bun Diserang Oleh Mengwi
Diceritakan sekarang, tidak bagitu lama keadaan ini aman, kemudian tiba masa Kalisengsara - kekacauan, dan ternyata marah besar Ida Cokorda Maun di Mengwi berkehendak menyerang I Dewa Karang yang ada di Puri Mambal.
Karena demikian didengar oleh I Dewa Karang, beliau berbincang dengan ipar beliau di Puri Bun. Setelah selesai bertukar pikiran, maka kembali pulang dengan tidak merasa sak wasangka lagi. Singkat ceritera, pasukan Mengwi sudah datang menyebabkan penuh sesak mengitari. Puri Mambal sudah dipenuhi oleh para putra Mengwi, dipimpin oleh Cokorda Mayun. Setelah dikelilingi puri Mambal itu, sangat duka hati I Dewa Karang, kemudian keluar ke depan Puri itu. Yang sebenarnya diandalkan oleh Puri Mengwi hanyalah pasukan Bun. Dan teryata yang mengitari Puri I Dewa Karang juga? hanya pasukan Bun. Karena itu I Dewa Karang dapat disembunyikan oelh pasukan Bun di tengah - tengah mereka. Menjadi takjub ppasukan Mengwi, heran dengan kesaktian I Dewa Karang yang hilang tidak ada di puri, karena sudah diungsikan - diamankan oleh pasukan Bun. Itu sebabnya pulanglah pasukan Mengwi tanpa hasil. I Dewa Karang kemudian mencari saudaranya yang berdiam di Banjar Tegal wilayah Tegalalang yang bernama I Dewa Bata.
Sesudah lama, tahulah Ida Cokorda Mayun akan tipu muslihat I Gusti Ngurah Made Bun, yang menyebabkan hilangnya I Dewa Karang karena diapaki menantu oleh Anglurah Bun. Penguasa Mengwi kemudian menyuarakan kentongan agung, serta kemudian berangkat Cokorda Mayun beserta balanya semua, akan merusak dan merebut Kyai Naglurah Bun. Bila saja berani dalam medan perang, akan dihabiskan sampai anak cucu Anglurah Bun.
Singkat ceritera, pasukan Mengwi semuanya sudah berangkat menuju puri Bun. Sesampainya di Bancingan Puri Bun, kaget Kyai Ngerurah kemudian memukul kentongan bertalu - talu, serentak rakyatnya semua laki maupun perempuan membawa senjata. Disana kemudian berkecamuklah perang itu, saling amuk, setapakpun tidak mundur, bersorak saling ejek, saling tantang, saling tusuk, saling penggal, saling banting, sama - sama tidak mengenal mana kawan mana lawan, sehingga kemudian peperangan itu sampai ke Puri Bun. Tak dinyana kemudian Cokorda Mayun, sebagai pucuk pimpinan pasukan Mengwi wafat, dapat ditusuk oleh Kyai Nglurah Bun. Serta kalahlah pasukan Mengwi. Jenazah Cokorda Mayun, diceritakan masih di Bun. Kemudian banyak rakyat Mengwi yang masih hidup, kembali ke Mengwi, ada yang langsung menghadap I Gusti Agung Made Munggu, adik Ida Cokorda Mayun yang wafat di Bun. Itu sebabnya murka I Gusti Agung Made Munggu, seraya memerintahkan semua anggota keluarganya untuk menyerang Anglurah Bun. Kemudian berangkat bala pasukan Mengwi dari Munggu dan Mengwi seraya membawa senjata. Di Lambing para putra Mengwi mengadakan pembicaraan. Kesimpulan pembicaraan itu, pasukan akan dibagi dua. Dari barat, sebagai pimpinan pasukan I Gusti Agung Made Kamasan dari Sibang serta I Gusti Agung Jlantik dari Penarungan, serta dari utara, bala pasukan disana mengiringi I Gusti Agung Made Munggu.
Dari Taensiat Ke Nagari
Singkat ceritera Kyai Ngurah Bun Pinatih sudah mendengar rencana balas dendam dari Puri Mengwi, jelas akan mendatangkan bala pasukan dalam jumlah yang besar. Kalau dihadapi jelas akan kalah. Kemudian beliau berpikir untuk tidak melawan, serta bersiap untuk meninggalkan puri, mengungsi ke wilayah Badung, bersama dengan anak cucu, besar kecil, serta rakyat semuanya, dengan mengusung Bhatara Kawitan semuanya seperti Siwapakaranaan serta pusaka I Keboraja beserta I Baru Upas.
Setibanya di Badung kemudian menuju Taensiat, rakyat beliau ditempatkan di Banjar Bun serta Banjar Ambengan. Ada yang beralih menuju Angayabaya, Jagapati, Angantaka, Sibang, Paguyangan. Ada yang mengungsi ke wilayah Pagutan, Negara, Pagesangan, Tamesi. Ada ke Tagtag Negara, Pangrebongan bersama I Gusti Tangeb, I Gusti Meranggi. I Gusti Meranggi pindah ke wilayah Sarimertha. Demikian ceritanya dahulu.
Diceritakan sekarang di Puri Bun, karena semua penduduk disana mengungsi ke wilayah Badung, maka keadaan disana menjadi sunyi, tak ada seorangpun kelihatan lewat. Setibanya pasukan Mengwi ditempat itu, maka dilakukan penyerobotan, dijarah semua milik Puri Bun serta milik rakyat disana. Sisa penjarahan adalah purinya, wantilan, merajan, pura, dan juga ada perumahan rakyat, semuanya dibakar habis diratakan sama sekali. Jenazah Cokorda Agung Mayun yang meninggal dan tertinggal di Puri Bun kemudian diambil dibawa pulang ke Mengwi.
Kembali diceritakan I Gusti Ngurah Bun di taensiat, para putra beliau sekarang ada yang pindah ke desa - desa lainnya, seraya memohon diri kepada ayahnya, seperti I Gusti Bun Sayoga ke Sigaran Mambal, I Gusti Ngurah Alit Padang mengungsi ke Karangasem, bertempat tinggal di Padangkertha. I Gusti Ngurah Teja mengungsi ke Denbukit. Ada putranya 3 orang, yang sulung I Gusti Teja - namanya sama dengan ayahnya, di Dawan Banjar, I Gusti demung menuju Timbul, Sukawati. Ayahnya I Gusti Ngurah Bun kemudian berpuri di Taensiat. Demikian dahulu.
Diceritakan I Dewa Karang berpuri di Banjar Tegal, beliau senang melakukan persembahyangan, disana di Dalem Pamuwusan namanya. Kemudian ada anugerah Ida Sang Hyang Widhi, beliau mendapatkan anugerah senjata dua buah. Itu sebabnya sangat suka cita I Dewa Karang, sangat percaya diri di hatinya.
Karena itu beliau bermaksud untuk mencari I Gusti Ngurah Made Bun di Puri Taensiat, agar turut serta berpuri di Banjar Tegal. Singkat ceritera, sangat senang hati I Gusti Ngurah Made Bun, demikian juga I Dewa Karang kemudian berjalan diiringi rakyatnya semua dengan membawa perlengkapan menuju Alas Kawos, namun putranya yang bernama I Gusti Ngurah Putu Wija diangkat atau kadharma putra oleh Kyai Pamecutan. Kemudian diceriterakan I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun bersama tempat tinggalnya kemudian menuju desa Kengetan.
Diceritakan I Gusti Wirya yang bertempat tinggal di Kengetan, dan juga di desa Singakertha, ditantang oleh I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun untuk berperang tanding. Akhirnya seperti keder hati I Gusti Wirya di Kengetan, kemudian beralih tempat semuanya serentak membawa perlengkapan di saat malam menuju desa Sigaran terus ke Melanjung.
Sejak itu kemudian desa Kengetan, Jukutpaku, serta Singakertha dikuasain oleh I Dewa Kaarang. Karena keberhasilan itu, kemudian I Dewa Karang beserta I Gusti Ngurah Made Bun membuat puri di Karang Tepesan sampai kepada rakyatnya semua.
Entah berapa masa sudah berpuri disana, ada usulan dari I Gusti Ngurah Made Bun agar membangun Puri yang baik dan indah, sebab keadaan sudah membaik, terus dinamai wilayah Negara. I? Gusti Ngurah Made Bun membangun puri dinamai Puri Negari.
I Dewa Karang mempunyai janji dengan I Gusti Ngurah Made Bun agar bersuka duka berdua, dan semoga terus sampai ke keturunannya nantinya. Demikian inti perbincangan I Dewa Karang serta I Gusti Ngurah Made Bun, semuanya merasa suka cita.
Diceritakan Ida Peranda Nyoman Padangrata yang pernah menjadi pendeta atau Bagawantah Ida Ngurah Bun sudah berpindah dari wilayah Bun, diikuti oleh putra serta isteri menuju desa Kutri, sewilayah dengan Negara. Banyak rakyat I Dewa Karang ada di Kutris diberikan kepada Ida Peranda. Demikian halnya di masa lalu, dicantumkan dalam pariagem.
Dilanjutkan sekarang purtra I Gusti Ngurah Made Bun di Negari semua sudah diandalkan oleh I Dewa Karang yang berkuasa di Negara. Putra I Gusti Ngurah Made Bun yang paling sulung bernama I Gusti Ngurah Gde Bun atau I Gusti Ngurah Mawang berpuri di Negari, I Gusti Anom Angkrah di Banjar Tunon, I Gusti Ketut Alit Bija bertempat tinggal di Kutri, I Gusti Ngurah Tangeb mmasih di Mawang, serta wanita I Gusti Ayu Oka juga di Negari. Semuanya memiliki jiwa keperwiraan masing - masing. Demikian keadaannya.
Diceritakan sekarang yang menjadi penguasa wilayah Gianyar bernama Ida I Dewa Manggis, memberi perintah kepada I Dewa Karang agar para putra Anglurah Bun Pinatih menjadi pengokoh wilayah Gianyar, paling utama mengawasi Tegal Pangrebongan. Kesimpulan perbincangan itu agar putra Ngurah Bun yang bernama I Gusti Ngurah Tangeb, yang memamng keturunan Pinatih, itu yang mengawasi di Pangrebongan, diberikan rakyat 200 orang. Demikian dicatat di Pariagem.
Juga diceritakan Ida Bang Pinatih memiliki keturunan yang bernama mangurah Guwa dan Mangurah campida. Keduanya, ketika masa kerajaan Gelgel atau Sweca Linggarsa Pura, ada di lingkunga Ida Dalem. Namun ketika masa pemberontakan I Gusti Agung Maruti, terjadi huru - hara, maka sanak keturunan beliau berdua meninggalkan Gelgel, ke arah timur perjalanannya, serta kemudaian berdiam di desa Gunaksa. Disana membangun kahyangan dinamai Pura Guwa. Tujuannya agar diketahui oleh keturunannya sebagai keturunan Mangurah Guwa. Demikian tercatat dalam prasasti, tentang keadaan Sira Mangurah Guwa.
Diceritakan pula di kemudian hari mendapatkan panjang umur keturunan Mangurah Guwa, ada yang pindah ke desa Timhun, sanak saudara yang lain menuju desa Aan. Ada juga yang meninggalkan desa Gunaksa yang menuju desa Akah, Pagubungan Manduang serta Nusa Penida.
Demikian kisahnya Mangurah Guwa dan Mangurah Campida.
Dan demikian pula kisah tentang keberadaan sanak keturunan Ida wang Bang Banyak wide yang kemudian menjadi warga Arya Wang Bang Pinatih di seluruh pelosok Pula Bali.

Pura kusuma Dewi

Add caption
Pura Kesuma Dewi [disebut juga Pura Sumadewi atau Pura Mas Medewiterletak di Banjar Tegal, Desa Bebalang, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.

Dari pertigaan yang berada pada ujung selatan Kota Bangli [yang ada bundaran itu], tepatnya di Desa Bebalang, anda ambil arah jalan ke arah timur.

Sekitar 50 meter darisana akan ada lagi pertigaan, disini anda ambil arah jalan ke selatan dimana ada gapura atau candi bentar yang cukup besar. Terus saja masuk ke selatan sekitar 100 meter, anda akan bertemu perempatan dimana ada gedung balai banjar dari Banjar Tegal. Ini berarti anda sudah tiba di Banjar Tegal yang merupakan lokasi pura.

Dari perempatan ini anda ambil arah jalan ke selatan, yaitu ke Jalan Mas Medewi. Jalan ini cukup sempit dan melewati pemukiman penduduk Banjar Tegal yang padat. Kalau anda naik mobil, agak hati-hatilah melewati jalan ini. Sebab di jalan sempit ini mobil agak sulit untuk berpapasan, harus mencari bagian jalan yang agak lebar pada titik-titik tertentu yang memungkinkan agar mobil bisa berpapasan.

Jalan ini lurus saja sepanjang sekitar 200 meter sampai tiba di ujung pemukiman penduduk Banjar Tegal, nanti disana jalan akan berbelok ke kanan dan menurun. Jalan menjadi semakin sempit dan pemukiman penduduk tidak ada lagi. Kalau anda naik mobil ingatlah mengebel di tikungan ini dan hati-hatilah melewati jalan ini, sebab jalan sempit mobil tidak bisa berpapasan. Di sebelah kanan jalan merupakan tebing setinggi kira-kira 5 meter disertai rerimbunan pohon, di sebelah kiri jalan merupakan jurang sedalam kira-kira 5 meter.

Jalan sempit ini tidak sampai 100 meter jauhnya dan anda akan tiba di tempat parkir dari Pura Kesuma Dewi. Tempat parkir ini tidak terlalu besar, hanya bisa menampung maksimal 4 mobil, tapi ini bisa menjadi tempat untuk mobil memutar disaat pulang nanti.

SEJARAH PURA

Pura Kesuma Dewi dibangun dalam 2 [dua] tahap pembangunan dan termuat dalam 2 [dua] naskah klasik.

Tahap 1

Awal mula keberadaan Pura Kesuma Dewi 
adalah Pathirtan Pangsut, yang mengalirkan air suci Kesuma Dewi yang sangat sakral dan metaksu. Pangsut sendiri berarti di ujung jalan yang mentok atau buntu. Sebagaimana yang kita lihat bahwa bahkan sampai jaman sekarang inipun Pura Kesuma Dewi tetap berlokasi di ujung jalan yang mentok atau buntu.


Pathirtan Pangsut

Mengenai sejarah keberadaan Pathirtan Pangsut ini termuat di dalam prasasti kuno yang dikeluarkan Raja Jayapangus [bertahta pada tahun 1178 s/d 1181 Masehi] yang membahas tentang keberadaan Pathirtan Pangsut di wilayah Tegal Alang-alang di selatan Kota Bangli, yang sekarang menjadi Banjar Tegal. Prasasti ini sampai sekarang masih tersimpan di Pura Kehen. Ini berarti sejarah keberadaan Pathirtan Pangsut dan air suci Kesuma Dewi sudah ada sejak sebelum abad ke-11 M.


Hanya ini sekelumit sejarah yang diketahui, bahwa Pathirtan Pangsut dan air suci Kesuma Dewi sudah ada pada abad ke-11 M. Sedangkan awal mula sejarah dibangunnya parahyangan ini pada jaman yang jauh lebih tua tidak diketahui.

Tahap 2

Sedangkan tahap perluasan dari Pura Kesuma Dewi termuat di dalam lontar Siddhimantra Tattwa, yaitu lontar yang memuat kisah sejarah tentang Danghyang Siddhimantra [seorang mahasiddha Shiwa-Buddha terkenal dari jaman kuno] berikut kisah sejarah mengenai keturunan beliau.

Diceritakan bahwa Danghyang Siddhimantra memiliki seorang putra bernama Danghyang Manik Angkeran. Kemudian dari Danghyang Manik Angkeran garis keturunan ini terus berlanjut dari generasi ke generasi.

Sampai pada keturunan beliau yang bernama I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi  yang menjadi Anglurah Gelgel dan memiliki puri di Desa Tambahan. Beliau memiliki empat anak dan salah satunya adalah anak perempuan bernama I Gusti Ayu Jembung. Anaknya ini dipertemukan [dijodohkan] dan dinikahkan melalui upacara pawiwahan dengan I Gusti Ngurah Arsa Guwi.

Setelah beberapa waktu dari upacara pawiwahan ini mendadak datang seorang utusan bernama Ida Pedanda Sakti Gde Mawang yang dikirim oleh Ratu [penguasa] Taman Bali yang bernama I Dewa Taman Bali.

I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi bersikap sangat hati-hati dengan datangnya utusan ini, mengingat penguasa Taman Bali sudah memberontak melepaskan diri dari Kerajaan Bali yang berpusat di Gelgel. Memanfaatkan keadaan pusat pemerintahan Kerajaan Bali di Gelgel yang sudah hampir runtuh, serta sudah kehilangan kekuatan dan kekuasaannya.

I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi kemudian keluar dari puri-nya untuk bertemu dengan sang utusan. Ketika sampai diluar puri dilihatnya Ida Pedanda Sakti Gde Mawang sedang menunjukkan kesiddhian-nya dengan memegang tetaken yang diatasnya berkobar nyala api sebesar kepalan tangan bertingkat 1 [satu]. Melihat pameran kesiddhian ini I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi tetap menyambut sebagaimana mestinya dan menghaturkan ucapan selamat datang. Sebagai keturunan langsung dari Danghyang Siddhimantra beliau juga tentunya memiliki kesiddhian yang tidak sembarangan. Beliau kemudian menghunus keris pusaka pajenengan beliau yang bernama Ki Baan Kawu-Kawu dan langsung mengeluarkan api sebesar kepalan tangan bertingkat 21 [dua puluh satu].

Seketika itu juga Ida Pedanda Sakti Gde Mawang merasa kesaktiannya kalah dari I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi. Beliau lalu mengajak I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi untuk duduk berdialog. Disampaikanlah maksud tujuan kedatangannya sebagai utusan dari I Dewa Taman Bali [penguasa Taman Bali] untuk melamar I Gusti Ayu Jembung, yang hendak diperistri oleh I Dewa Taman Bali.

Sadarlah I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi bahwa tujuan sebenarnya dari pengiriman utusan ini adalah untuk memancing peperangan. Sudah tentu I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi tidak dapat memenuhi permintaan penguasa Taman Bali tersebut, sebab I Gusti Ayu Jembung sudah dinikahkan dengan I Gusti Ngurah Arsa Guwi.

Peminangan ini hanyalah taktik dari I Dewa Taman Bali untuk melemahkan setiap kekuatan yang dirasanya menjadi saingan bagi kekuasaannya. Karena peminangan ini ditolak, maka penguasa Taman Bali memiliki alasan untuk melakukan penyerangan dengan alasan merasa terhina dengan penolakan tersebut.

Pada saat itu pasukan Taman Bali sedang berada pada puncak kekuatannya. I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi sadar akan diserang pasukan yang kuat dan jumlahnya lebih besar dari pasukannya sendiri. Beliau memutuskan untuk menghindari pecahnya peperangan dengan cara menyingkir dan bersembunyi. Beliau membawa seluruh harta dan benda pusaka penting miliknya dan mengajak seluruh keluarganya melakukan perjalanan menuju utara.

Di wilayah Tegal Desa Bebalang mereka disambut oleh I Pasek Dawan Tegal. Situasi saat itu sangat genting karena pasukan Taman Bali sudah mengetahui pelarian ini dan berupaya melakukan pengejaran. I Pasek Dawan Tegal membantu I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi beserta keluarganya untuk bersembunyi di Pathirtan Pangsut di tepi sungai kecil yang bernama Sungai Geroh-geroh.


Sungai Geroh-geroh di sisi selatan Pura Kesuma Dewi

Saat itu I Gusti Ayu Jembung sudah dalam keadaan hamil. Disertai oleh  I Pasek Dawan Tegal, I Gusti Ayu Jembung beserta suami dan keluarganya, menyampaikan sebuah permohonan dan janji kepada para Ista Dewata mahasuci yang malinggih di Pathirtan Pangsut. Mohon agar dilindungi dari kejaran pasukan Taman Bali, mohon keselamatan agar tetap bisa hidup dan memperoleh keturunan [yang sedang dikandungnya]. Kalau permohonan ini terkabul berjanji akan membangun sebuah parahyangan suci kahyangan jagat di Pathirtan Pangsut yang akan dinamai Pura Kesuma Dewi.

Berkat perlindungan niskala dari para Ista Dewata alam-alam suci mereka semua selamat dari pengejaran dan pencarian pasukan Taman Bali. Ketika keadaan dirasa sudah agak aman kemudian I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi beserta keluarganya, termasuk I Gusti Ayu Jembung yang sedang hamil, melanjutkan perjalanan menuju Den Bukit [sekarang disebut Buleleng] dan sampai di Bukit Tajun. Dari Bukit Tajun mereka melanjutkan perjalanan menuju utara dan menetap disana. Tempat ini kemudian diberi nama Desa Kubu Tambahan. Karena mereka berasal dari Desa Tambahan dan kemudian membuat kubu [pondok atau rumah tempat tinggal].

Untuk memenuhi janji karena sudah mendapat perlindungan niskala, kemudian dibangunlah parahyangan suci Pura Kesuma Dewi di Pathirtan Pangsut. Ini berarti perluasan Pura Kesuma Dewi ini terjadi pada sekitar abad ke-17 M.

Dari beberapa naskah klasik ini bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa Pura Kesuma Dewi dibangun dalam 2 [dua] tahap pembangunan. Pura Kesuma Dewi sudah ada sejak sebelum abad ke-11 M dan mengalami perluasan pada sekitar abad ke-17 M.

DRESTA PURA

Di Pura Kesuma Dewi terdapat beberapa dresta yang tentunya wajib untuk kita ikuti dan tidak kita langgar. Dresta-dresta tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kalau mandi atau melukat tidak boleh mengenakan busana sehelai benangpun. Mandi atau melukat wajib telanjang bulat.

Menurut cerita masyarakat, kalau dresta ini dilanggar maka akan mengakibatkan mata air suci Kesuma Dewi di Pura Kesuma Dewi ini berhenti mengalirkan air. Sebagaimana sudah terbukti berkali-kali pada kejadian-kejadian yang masih diingat sejak 100 tahun yang lalu. Kalau ada yang mandi atau melukat masih mengenakan busana, walaupun hanya ditutupi selembar kain perca kecil saja, maka air suci di Pura Kesuma Dewi ini akan berhenti mengalir. Harus diadakan upacara khusus agar air suci ini dapat mengalir kembali.

Sehingga masyarakat setempat sangat ketat akan aturan ini. Bagi yang melanggar dresta ini akan langsung dikenakan sanksi. Juga pengempon pura memasang papan pengumuman mengenai dresta dan sanksi yang akan dibebankan bagi pelanggar.
 
Dresta niskala ini merupakan sebuah ujian spiritual, sebuah proses seleksi alam bagi siapa saja yang datang tangkil, sekaligus menjadi pagar niskala penjaga kesakralan parahyangan suci. Siapapun yang hendak mandi atau melukat di parahyangan suci yang sakral ini harus sanggup menempuh ujian spiritual ini, yaitu mandi atau melukat dengan bertelanjang bulat.
Ini tidak saja merupakan sebuah ujian spiritual, tapi sesungguhnya merupakan sebuah pelajaran spiritual tingkat tinggi. Karena untuk dapat melukat di parahyangan suci ini, kita harus dengan keikhlasan total, dengan kepolosan pikiran dan terbebas dari ke-aku-an [ego, ahamkara]. Mengalami keadaan sunia melampaui pikiran, “tanpa diri” atau “tanpa ego”. Hanya mereka yang bersedia menggembleng diri melatih kondisi kesadaran seperti ini yang diijinkan untuk melukat di parahyangan suci sakral ini, untuk memperoleh karunia para Ista Dewata. Kalau tidak bersedia, sebabnya karena bathin masih melekat sangat kuat dengan keterkondisian palsu, maka dari itu tidak akan diijinkan. 

Tentunya dresta pura ini wajib untuk kita ikuti dan tidak kita langgar. Karena tanpa mengikuti dresta ini tentunya yang didapat bukannya karunia Ista Dewata, tapi malahan berdampak kepada sebuah kemunduran secara sekala - niskala.

2. Kalau mandi atau melukat tidak boleh meletakkan pakaian di areal pathirtan.

Artinya kita harus membuka dan meletakkan pakaian di seberang jembatan diatas sungai, kemudian berjalan sekitar 2,5 meter menuju areal pathirtan. Atau boleh juga 
membuka dan meletakkan pakaian di tengah jembatan tersebut.

Jembatan di atas sungai menuju areal pathirtan

3. Pantang untuk mengkomersialkan atau menjual air suci dari Pura Kesuma Dewi ini.

Masyarakat dipersilahkan untuk nunas tirtha disini untuk konsumsi sendiri sebanyak yang diperlukan. Tapi pantang untuk mengkomersialkan atau menjualnya. Menurut cerita masyarakat kalau dresta ini dilanggar maka akan mengakibatkan kecelakaan yang berujung pada kematian bagi yang melanggarnya. Ini sudah berkali-kali terjadi, termasuk kejadian-kejadian beberapa tahun yang lalu.

Bila kita tangkil ke sebuah pura tentunya semua dresta pura tersebut wajib untuk kita ikuti dan tidak kita langgar. Di setiap parahyangan suci pastinya tidak lepas dari taksu dan kekuatan suci. Bila kita tidak mampu dengan rendah hati menghormati dan mengikuti dresta, taksu dan kekuatan suci sebuah pura, tentu lebih baik kita tidak datang saja kesana. Tanpa mengikuti sasana ini tentu pencapaian apapun dalam proses perjalanan spiritual tidak akan diperoleh. Yang terjadi malah sebuah kemunduran. 

Sehebat apapun tingkat spiritual kita, kalau datang 
ke sebuah pura jangan seperti "maling" yang mengobrak-abrik dresta sebuah pura, dengan membawa sikap angkuh dan mementingkan diri sendiri. Sudah tentu itu adalah sebuah sikap yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma sejati. Kita tidak akan memperoleh karunia spiritual apapun, malah dengan pelanggaran tersebut kita akan mendapat karma buruk. Kalau kita tidak sanggup untuk mengikuti dan menghormati dresta sebuah pura, tentu lebih baik kita tidak datang saja kesana.

Selain itu tentunya juga berlaku tata-aturan ke pura yang umum berlaku dimana-mana, yaitu datang dan memasuki areal pura wajib memakai pakaian adat Bali / pakaian sembahyang Hindu. Serta dilarang masuk ke pura dalam keadaan cuntaka, seperti sedang ada keluarga dekat yang meninggal dunia dan wanita yang sedang haid  [datang bulan].

MANDALA PURA

Keseluruhan Pura Kesuma Dewi terbagi menjadi tiga areal. Yaitu areal utama Pura Kesuma Dewi, areal Pathirtan Kesuma Dewi
[Pathirtan Pangsut] dan areal Palinggih Taru.

Dari tempat parkir Pura Kesuma Dewi, di depan kita langsung adalah jembatan
yang menuju areal utama Pura Kesuma Dewi.




Di sebelah kiri jembatan ini, di bawah pada sungai
, terdapat sebuah batu besar berwarna kuning keemasan yang unik. Menurut kesaksian langsung Jro Mangku dan masyarakat sekitar pura, sekitar 50 tahun yang lalu batu ini hanyalah sebesar keben saja. Entah apa sebabnya batu itu terus bertumbuh membesar sampai sekarang ukurannya hampir sebesar 2/3 mobil karimun. Selain itu ada kejadian seorang praktisi spiritual dari Jogja yang sedang menjelajah Pulau Bali mengalami kejadian unik dengan batu ini. Yaitu dia melihat di kejauhan ada segaris sinar terang mencuat ke angkasa. Setelah dicari-cari asal dari sinar terang tersebut, ternyata berasal dari batu ini.


Batu berwarna kuning keemasan yang terus membesar

Memasuki candi bentar pura kita akan memasuki madya mandala pura. Disini terdapat Palinggih Sanghyang Baruna
[Ista Dewata penguasa samudera] dan sepasang Palinggih Apit Lawang. Selain itu juga terdapat beberapa bangunan sebagai penunjang kegiatan disaat diadakannya piodalan pura atau upacara besar lainnya.


Candi bentar menuju utama mandala dan sepasang Palinggih Apit Lawang

Mele
wati candi bentar berikutnya merupakan gerbang masuk menuju utama mandala pura. Disini merupakan tempat pemujaan utama dari Pura Kesuma Dewi.

Palinggih mulai dari paling barat adalah Palinggih Anglurah Agung sebagai stana Sanghyang Buddha. Di palinggih ini distanakan arca pratima Buddha Vairocana [salah satu dari lima Panca Dhyani Buddha], yang merupakan ciri khas Buddha Kasogatan yang berkembang di nusantara pada jaman kuno dahulu. Pada awalnya pratima kuno yang ada disini berupa jempana berbentuk teratai. Melalui paruman para panglingsir dan pengurus pura
pada tahun 2007, kemudian diputuskan untuk mengganti pratima jempana berbentuk teratai dengan arca pratima Sanghyang Buddha. Pratima kuno berupa jempana berbentuk teratai itu kemudian disimpan di palinggih gedong. Adanya palinggih Sanghyang Buddha ini kemungkinan memiliki kaitan dengan sadhana spiritual dari Danghyang Siddhimantra yang melaksanakan ajaran Shiwa-Buddha.


Palinggih Sanghyang Buddha

Di sebelah timur Palinggih Anglurah Agung sebagai stana Sanghyang Buddha adalah Palinggih Pesamuhan Agung. Yaitu tempat pemujaan bagi seluruh Ista Dewata di Pura Kesuma Dewi. Ketika diselenggarakan piodalan maka seluruh arca pratima akan distanakan berkumpul disini.


Persembahyangan di depan Palinggih Pasamuhan Agung

Di sebelah timurnya lagi adalah Palinggih Sanghyang Wishnu, berupa sebuah palinggih gedong yang tertutup rapat. Di dalam palinggih gedong ini terdapat arca pratima Sanghyang Wishnu yang terbuat dari uang kepeng. Arca pratima ini memiliki kisah sejarah yang tidak biasa. Yaitu ketika jaman dahulu [tidak diingat lagi tahunnya] di palinggih ini belum ada arca pratima. Lalu oleh masyarakat dikumpulkan orang-orang wikan untuk diminta petunjuknya. Kemudian disarankan oleh mereka untuk memohon di palinggih taru. Kemudian terjadilah keajaiban dimana diatas canang yang dihaturkan di Palinggih Taru tersebut, yang tadinya kosong mendadak diatasnya berisi banyak sekali uang kepeng. Kemudian uang kepeng inilah yang dijadikan sebagai arca pratima Sanghyang Wishnu.

Palinggih Sanghyang Wishnu

Di sebelah timur dari jejeran palinggih tadi terdapat palinggih pesimpangan ke Gunung Agung dan palinggih pesimpangan ke Gunung Lebah [Gunung Batur]. Yang dalam kosmologi Bali adalah simbolik Purusa dan Predana [Prakriti], yaitu keseluruhan realitas alam semesta. Serta disebelahnya lagi adalah Palinggih Padmasana sebagai stana Sanghyang Acintya beserta seluruh manifestasi-Nya.

Palinggih Gunung Agung, Gunung Lebah dan Padmasana

Di sebelah timur pura terdapat satu palinggih gedong untuk pemujaan kepada Danghyang Manik Angkeran.
Di parahyangan ini tidak ada palinggih pemujaan kepada Danghyang Siddhimantra, karena beliau telah kembali ke Pulau Jawa dan tidak menetap di Bali.


Palinggih Danghyang Manik Angkeran

Di sebelahnya adalah Palinggih Sanghyang Prajapati. Adanya palinggih Sanghyang Prajapati ini merupakan manifestasi naungan dan perlindungan dari Ista Dewata kepada manusia dari marabahaya dan keberlanjutan kehidupan. Ini terkait dengan kejadian I Gusti Ayu Jembung yang mohon perlindungan dari bahaya dan mohon agar dapat memperoleh keturunan [yang sedang dikandungnya]. Karena beliau Sanghyang Prajapati adalah Ista Dewata pemberi kehidupan dan pelindung kehidupan semua mahluk.

Palinggih Sanghyang Prajapati

Di sebelah selatan pura terdapat Palinggih Sanghyang Ibu Pertiwi atau Ibu Bumi.

Palinggih Sanghyang Ibu Pertiwi

Untuk menuju areal kedua, yaitu Pathirtan Kesuma Dewi
[Pathirtan Pangsut], kita harus keluar dulu dari areal utama Pura Kesuma Dewi. Berjalan sekitar 50 meter melewati jalan di pinggir jurang Pangsut.

Sebelum sampai di Pathirtan Pangsut kita akan melewati sebuah Palinggih untuk bendungan subak kuno. Bendungan kuno ini terdapat di bagian bawah, pada Sungai Geroh-geroh yang bermuara ke Tukad [Sungai] Melangit. Palinggih ini tidak ada kaitannya dengan Pura Kesuma Dewi dan disungsung oleh krama subak dari daerah lain, yang leluhurnya membuat bendungan ini.

Palinggih bendungan subak di selatan Pathirtan Pangsut

Areal pathirtan Kesuma Dewi ini terbagi menjadi dua mandala, yaitu jaba tengah dan jaba sisi.
Di jaba tengah Pathirtan Kesuma Dewi [Pathirtan Pangsut] terdapat kelebutan atau sumber mata air suci Kesuma Dewi yang sangat disakralkan. Pada sumber mata air suci ini dilinggihkan arca seorang pandita. Kemudian air suci ini mengalir melewati tiga pancoran suci. Tiga pancoran suci ini hanya boleh untuk nunas tirtha saja.

Pancoran tiga untuk nunas tirtha

Aliran air suci Kesuma Dewi dari tiga pancoran suci ini kemudian dialirkan menuju jaba sisi dari areal pathirtan yang juga mengalir keluar melewati tiga pancoran. Disinilah tempat untuk melukat, mandi atau nunas tirtha.

Pancoran tiga genah melukat, mandi atau nunas thirta.

Untuk menuju areal ketiga, yaitu areal Palinggih Taru kita akan melewati jembatan yang ada di sisi timur areal pathirtan Kesuma Dewi. Lalu naik ke atas bukit kecil.



Taru [pohon] yang ada disini ada dua yaitu Pohon Taap [yang besar] dan Pohon Pule [yang kecil]. Taru ini sangat disakralkan  oleh masyarakat dan pernah digunakan sebagai bahan pembuatan tapel sesuhunan Pura Dalem Lagaan.


Palinggih Taru

Demikianlah keberadaan seluruh wilayah parahyangan suci Pura Kesuma Dewi.

SAKRALNYA KEKUATAN SUCI TIRTHA KESUMA DEWI

Pura Kesuma Dewi adalah pura kahyangan jagat dengan nuansa spiritual Bali kuno.

Menurut Jro Mangku pura, kalau pemedek hendak melukat di Pura Kesuma Dewi dan pertama kali tangkil, hendaknya membawa pejati dan juga mendak Jro Mangku. Nanti Jro Mangku yang akan mengadakan persembahyangan matur piuning dulu kepada Ista Dewata yang berstana di Pura Kesuma Dewi. Setelah itu barulah pemedek melukat di Pathirtan Kesuma Dewi.

Penangkilan-penangkilan selanjutnya dipersilahkan langsung saja melukat dengan menghaturkan canang di pathirtan. Kita boleh mendak pemangku dan boleh juga tidak. Kalau kita mendak pemangku nanti kita bisa sembahyang di areal utama mandala pura. Kalau kita tidak mendak pemangku, kita tidak akan dapat masuk ke areal utama mandala pura karena gerbang-nya selalu digembok. Kita boleh langsung saja melukat di pathirtan dengan menghaturkan canang. Ketika melukat janganlah sama sekali melanggar dresta-dresta yang ada di pura ini.

Bisa dikatakan bahwa Pura 
Kesuma Dewi adalah salah satu tempat melukat yang sangat baik, sebab air suci Kesuma Dewi adalah thirta yang sangat sakral dan metaksu, dengan kekuatan sucinya dalam air sangat kuat, sehingga menjadi salah satu tempat melukat yang sangat baik.

Secara niskala a
ir suci yang mengalir dari masing-masing pancoran pada pancoran tiga di jaba sisi ini terlihat memiliki warna yang berbeda-beda dan terasa energi-nya juga berbeda-beda. Ini berarti masing-masing pancoran memiliki karunia-nya masing-masing. Dan ini tidak hanya secara niskala saja, tapi terbukti juga secara sekala. Yaitu ketika Pemda Bangli melakukan penelitian mengenai kualitas air suci Pura Kesuma Dewi. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa tirtha suci dari masing-masing pancoran pada pancoran tiga di jaba sisi ini ternyata memiliki berat dan kandungan mineral yang berbeda-beda. Ini secara ilmiah tentu saja cukup membingungkan, karena sumber mata airnya sama hanya satu saja.

Salah satu dresta di Pura Kesuma Dewi bahwa mandi atau melukat di pancoran disana tidak boleh memakai busana sehelai benangpun atau wajib telanjang bulat dan laki-laki perempuan disini mandi campur. Selain itu kalau mandi atau melukat tidak diperbolehkan meletakkan pakaian di areal pathirtan, sehingga kita harus membuka dan meletakkan pakaian di seberang jembatan, kemudian berjalan dengan tanpa busana sekitar 2,5 meter menuju areal pathirtan. 
Atau boleh juga membuka dan meletakkan pakaian di tengah jembatan tersebut.



Masyarakat disini biasa-biasa saja, sama sekali tidak ada yang berpikiran kotor. Sepanjang sejarah tidak pernah ada kejadian pelecehan seksual atau pemerkosaan. Sebagaimana pengalaman saya ketika melukat disini, walaupun laki-laki perempuan disini mandi campur tanpa busana, tidak ada pikiran buruk yang muncul di dalam diri.

Pada hari-hari biasa, Pura Kesuma Dewi sering dijadikan tempat pemandian, mencari air minum dan genah melukat bagi masyarakat sekitarnya.

Menurut Jro Mangku pura, selain masyarakat sekitar, banyak praktisi spiritual yang datang tangkil ke Pura Kesuma Dewi karena mendapatkan petunjuk niskala. Ada yang mendapatkan pawisik, ada yang mendapatkan berbagai cihna [pertanda] dan ada juga ketika sedang tidur mendapatkan pesan simbolik di dalam mimpi untuk tangkil ke parahyangan suci ini.

Ini termasuk juga para sulinggih dan pejabat yang banyak tangkil ke Pura Kesuma Dewi. Misalnya seorang sulinggih yang lama mengalami sakit tidak kunjung sembuh, kemudian di dalam mimpi mendapatkan petunjuk dari leluhurnya untuk melukat disini. Setelah 3 [tiga] kali tangkil dan melukat sulinggih itu sembuh dan kembali segar-bugar. Juga seorang pejabat penting di Bali yang mendapat petunjuk melukat ke Pura Kesuma Dewi. Menurut Jro Mangku pura, para sulinggih, pejabat, beserta para istrinya juga disini tetap harus ikut dresta melukat telanjang bulat.

Karena secara niskala air suci Kesuma Dewi yang keluar dari ke-3 pancoran di jaba sisi sudah terberkati berupa tirtha suci mautama. Itu sebabnya mandi atau melukat tidak boleh memakai busana, karena air yang keluar dari pancoran sudah dengan sendirinya berupa tirtha suci. Kita tidak boleh menistai kesucian tirtha suci tersebut dengan pakaian atau busana yang kita pakai. Dan di Pura Kesuma Dewi thirta suci ini sangatlah sakral dan metaksu.

Dalam pandangan niskala saya, tanpa busana ini juga merupakan sebuah segel, sebuah penanda [kode] atau simbol-simbol suci dengan tubuh kita. S
egel, kode atau simbol-simbol suci ketulusan penyerahan diri kita akan perjalanan garis nasib kita [dalam segala hal termasuk kemajuan spiritual] kepada beliau dengan penuh rasa bhakti dan kerelaan. Sebagaimana halnya ketika I Gusti Ayu Jembung dan keluarganya menyerahkan garis nasibnya kepada para Ista Dewata ketika sedang dalam ancaman marabahaya. Serta segel, kode atau simbol-simbol suci akan kesadaran mengenai kepapaan dan kesementaraan kehidupan ini, kita lahir telanjang dan mati juga telanjang. Kita berharap kepada kemaha-welasihan para Ista Dewata turun membantu kita. Kita menggunakan tubuh kita untuk menampilkan segel, kode atau simbol-simbol kosmis alam semesta.

Saran saya anda sebaiknya melukatlah berlama-lama disini, biarkan air suci yang mengalir dari pancoran lama mengguyur dan mencocor seluruh tubuh kita, karena itu yang membuat karunia penglukatan disini semakin kuat. 

Menurut Jro Mangku pura, selain sebagai parahyangan suci tempat menyucikan diri yang mautama, Pura Kesuma Dewi juga sebagai tempat melukat nunas kesembuhan dari penyakit, terutama penyakit kencing batu dan kencing manis.

Masih menurut Jro Mangku pura, selain adanya berbagai karunia spiritual di Pura Kesuma Dewi, juga ada karunia yang paling banyak diminati masyarakat awam, yaitu karunia untuk mendapatkan anak bagi pasangan yang sulit mendapatkan keturunan. Bagi pasangan yang ingin mendapatkan keturunan, pasangan suami-istri keduanya tangkil dan melukat di Pura Kesuma Dewi paling banyak selama 6 [enam] bulan setiap rahina purnama dan setiap rahina tilem berturut-turut tanpa putus. Ada pasangan yang baru 5 [lima] kali berturut-turut sudah bisa hamil, ada pasangan yang baru 3 [tiga] kali saja sudah bisa hamil dan bahkan ada pasangan dari Gianyar yang baru sekali saja sudah bisa hamil. Dan walaupun kebanyakan pasangan memerlukan jangka waktu lebih panjang, yang penting kalau sudah tangkil dan melukat di Pura Kesuma Dewi selama 6 [enam] bulan setiap rahina purnama dan rahina tilem terus berturut-turut tanpa putus.  pasti bisa hamil. Ini sudah sangat banyak terbukti. Intinya hanya tekun dan sabar memohon karunia beliau dan melakukan pembersihan diri di parahyangan suci ini.

Caranya adalah pertama kali tangkil dan melukat pasangan suami-istri datang kesana harus membawa pejati dan mendak Jro Mangku pura. Kemudian Jro Mangku yang akan menghantarkan permohonan ini kepada Ista Dewata yang berstana disana. Setelah itu pasangan kemudian melukat mohon pembersihan dan karunia beliau melalui tirtha suci Kesuma Dewi. Penangkilan yang berikut-berikutnya tidak usah lagi mendak Jro Mangku, melainkan langsung saja melukat di pathirtan Kesuma Dewi dengan cukup menghaturkan canang. Karena tujuan penangkilan sudah disampaikan secara niskala oleh Jro Mangku kepada para Ista Dewata di kedatangan yang pertama tersebut.